Cerita Pendek - Ibu
"IBU"
Ilustrasi Kartun Ibu
Sumber Gambar : ordinarymanjournal.wordpress.com
Hari ini, kurasakan tak seperti hari-hari sebelumnya. Aku seperti terbayang-bayang wajah ibuku yang ada di kampung halaman ku di desa. Terbayang olehku raut wajahnya yang semakin banyak kerut keriputnya di makan oleh usia. Terkhayal dibenakku gorengan singkong hangat yang biasanya kami lahap bersama dengan sambel. Begitu indah kalau kuingat, namun sekarang aku lagi berada di kota, menjalankan amanah beliau untuk menuntut ilmu. Suasana itu tak bisa kunikmati, hanya bisa kubayangkan di dalam anganku. Memang sudah sekitar delapan bulan aku tak pulang kampung. Namun bukan berarti aku tak merindukan beliau, hanya saja aku harus mengikuti amanah beliau agar jangan sering-sering pulang. Maklum, masalah klasik yaitu uang. Semenjak ditinggal ayahku pulang ke pelukan yang kuasa, ibuku kini berubah menjadi dua sosok. Sosok yang pertama adalah sebagai ibu yang mengasihi, menyayangi, dan memperhatikan anaknya setulus hatinya. Di lain sisi, beliau juga menjadi seorang ayah yang membanting tulang untuk menopang kehidupan kami berdua, khususnya untukku. Meski dengan jerih payah yang seadanya beliau memaksaku untuk kuliah. Beliau berharap nasib ku akan lebih baik daripada nasibnya.
Kata orang, kasih ibu sepanjang masa, namun kasih anak hanya sepanjang jalan. Hal ini berlaku pada keluarga kami. Aku dilahirkan sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, namun kakakku yang kedua sudah tiada ketika aku masih bayi. Kakakku yang sulung telah memiliki kehidupan tersendiri dengan keluarganya. Kini, keadaan ekonominya telah berkecukupan. Namun satu hal yang membuat pepatah ini sesuai untuknya, ia telah lupa akan tanggung jawabnya sebagai anak sulung terhadap ibunya dan adiknya. Ia kini seperti kacang lupa kulitnya. Karena hal inilah Ibuku berusaha keras membanting tulang memeras keringat, hanya untuk mencarikan aku dana hidup dikota, dan menempuh studiku sebaik-baiknya dengan satu harapan aku tak seperti anak sulungnya.
Seandainya saja, kalau aku boleh jujur kepada beliau aku sudah sangat rindu kepadanya. Perasaan rindu di perantauan ini sudah yang kesekian kalinya ku tahan. Seringkali air mataku menetes tatkala kerinduan ini kembali mengoyak-ngoyak batinku. Sungguh ingin sekali rasanya aku pulang, tuk berbagi pengalamanku di kota selama beberapa bulan ini. Hanya saja, lantaran biaya sekadarnya yang kupunya inilah yang menjadi tembok besar penghalang hasrat kerinduanku ini. Kerinduan ini hanya bisa kuluapkan dalam do’a-do’aku. Do’a seorang anak rantauan yang begitu merindukan sang Ibu yang jauh dari pandangan mata.
Gerimis mulai turun membasahi bumi. Aku masih berjalan meniti selasar kampusku yang tak begitu jauh dari kost ku, hanya berjarak 300 meter saja dari kampus. Perutku mulai terasa keroncongan karena belum terisi apa-apa dari tadi pagi. Aku berjalan menunduk melayangkan fikirku jauh kerumah, tak kupedulikan riuh rendah teman-teman mahasiswa yang ada di sekelilingku. Uang saku yang ada padaku sudah sangat menipis, padahal sekarang adalah saat-saatnya para mahasiswa menjalani final test, yang tentunya memerlukan banyak uang untuk mengerjakan tugas-tugas yang bertumpuk dari dosen. Aku hanya berharap semoga ibu mendapatkan rizki lebih untukku disini.
Selangkah demi selangkah kaki ku mengayun menuju kost ku. Dengan pikiran yang melayang-layang membaur diantara gerimis, kerinduanku dan masalah-masalah yang tak bisa kuuraikan satu persatu. Hidup ini memang rumit kataku. Hidup memang penuh perjuangan dan ketabahan. Semua masalah yang membeku di kepalaku ini seakan selalu menari-nari dan mengejekku. Ingin rasanya aku lari dari masalah yang menderaku. Tetapi, seperti kata pepatah orang yang mengaku tak punya masalah adalah orang yang bermasalah. Pepatah inilah yang kujadikan pecut penyemangatku.
Sesampainya di kost, sesegeranya kubaringkan badanku di dipan milik temanku. Ku rentangkan kakiku tuk menenangkan asa jiwaku dan juga menahan laparnya perutku. Belum sampai lima menit istirahat, ada suara orang yang memanggilku. Aku lalu berdiri dan keluar membukakan daun pintu. Ternyata ada Pak Pos yang sudah sangat ku kenal wajahnya, Pak Saleh namanya. Pak Saleh membawakan surat yang diperuntukkan kepada ku dari desa. Setelah menyerahkan amplop surat tersebut, Pak Saleh langsung mohon pamit karena banyak surat yang mesti beliau antarkan sesegeranya hari ini.
Tersirat sebuah kebahagiaan kecil memancar dari dasar kalbuku. Getar-getar kerinduan yang telah ku tahan-tahan selama ini membuncah dan memaksakan jemariku untuk membuka amplop putih berprangko seharga Rp. 2000,- dua lembar ini. Kubuka perlahan amplop putih ini dengan segenap perasaan rinduku. Huruf demi huruf yang tertulis rapi ini ku coba baca dengan sepenuh hati,
“Assalamualaikum Wr. Wb
Anakkku, semoga limpahan rahmat dan hidayahnya selalu menjagamu, dan memayungimu dalam berperilaku dan melaksanakan amanah bunda di sana. Anakku yang ku rindukan, Alhamdulillah bunda di sini sehat wal afiat tak kekurangan suatu apapun berkat kemurahan-Nya yang tak terbatas oleh tepi dunia dan waktu.
Anakku yang tabah. Tak ada kata lain yang ingin Bunda ucapkan mengawali isi surat ini selain kata rindu yang menggema-gema di rongga dada ini. Sudah sekian lama anakku tak bersua dengan bunda. Berbagi kisah suka dan duka. Meluahkan tikaman kerinduan ini. Bunda di sini berharap, janganlah kau hiraukan suara-suara rintihan kerinduan yang merong-rong bunda di sini.
Anakku yang sabar. Tetaplah berjuang di sana dengan tak hentinya bunda mendo’akan mu dari sini. Dan juga jangan lupa do’akan bunda di sini semoga sehat selalu agar bisa membantumu mencapai gugusan mega impianmu anakku. Jadilah kau sebagai lelaki sejati yang kokoh seperti karang dari hempasan gelombang pasang, yang teguh terhadap terpaan badai, tetaplah kau berlari mengejar anganmu bersama angin. Jadilah kau seperti tetesan embun yang mampu menyejukkan sekitarmu. Jadilah kau seperti bintang yang tak peduli akan gelapnya malam. Berjalanlah kau di garis waktu yang benar, jangan kau hiraukan tangisan- tangisan kecil yang mengejek dan menjadi duri di jalan mu.
Anakku Rudi yang berbahagia. Mungkin hanya sampai disini Bunda bisa mengelus-elus lembut hatimu, masih ada waktu untuk kita berjumpa lagi di lain waktu. Bersamaan dengan surat ini bunda titipkan sebagian hasil keringat bunda di sini. Semoga uang yang tidak seberapa ini mampu kau manfaatkan sebaik-baiknya, karena di setiap rupiah yang bunda kirimkan ini tersisip do’a-do’a suci bunda untukmu. Do’a-do’a kecil yang menetes dari keringat bunda. Bunda tunggu balasan suratmu secepatnya.
Billahittaufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb”
Seketika ini juga aku terpana, semua masalah yang membaur di kepalaku serasa lenyap tak berbekas. Surat ibuku ini melecutkan semangatku. Beberapa tetes embun bening mengalir dari mataku. Surat yang mengisyaratkan kerinduan ibuku kepadaku ini membangkitkan kembali secercah harap yang telah terbelenggu oleh pikiran yang membeku. Kubuka lagi amplop putih itu, dan dan kurogoh ke dalamnya, dan benar terselip dua lembar uang lima puluh ribuan dan dua lembar dua puluh ribuan. Rasa syukur langsung kuuraikan dengan dalam dari batinku. Betapa tidak, seandainya hari ini aku tak mendapatkan uang saku, mungkin aku harus minjam uang dulu kepada teman-temanku.
Kupegang erat-erat surat ini. Aku kemudian langsung ke kamar Adi, teman satu kostku untuk meminjam gitar. Kudendangkan lagu milik Iwan Fals yang berjudul Ibu. Jiwaku yang sudah sedemikian rupa terharunya mengalirkan lagi rasa kekaguman yang tiada taranya kepada Ibuku. Sang pahlawan ku yang dengan segenap jiwa raganya yang renta ia pasrahkan untuk membiayaiku. Surat yang begitu indah ini telah membuatku terenyuh. Tiada apresiasi yang terindah untuk ibuku di sana selain lagu yang kulantunkan dengan nada suaraku yang pas-pasan. Harmoni suasana yang menciptakan nyanyian rindu ini membawaku merasakan dalamnya makna lagu ini. Kata-kata di syair di lagu ini memang menggambarkan kenyataan yang saat ini ku alami.
Aku kembali berbaring di ranjang bambuku. Kubaca kembali surat yang menyiratkan selaksa kerinduan ini. Badanku yang terasa telah lelah menikmati keheningan ini. Akupun terlelap dalam denyutan waktu yang tak mungkin kembali terulang bersama perihnya hidup ku ini.
***
Sebagai seorang anak, sungguh aku ingin berbakti kepada Ibuku. Semua kisah pahit, manis, kecut, hitam, dan putih ku coba tuk nikmati hanya untuk menyempurnakan hasrat Ibuku untukku. Bak seorang kekasih yang terpedaya kerinduan aku selalu terbayang wajahnya, dan lembut belai dekapannya.
Hari ini aku merasa sangat berbahagia. Waktu libur kuliah telah pun tiba, setelah perjuangan yang begitu melelahkan. Tapi, segenap tenaga dan pikiran yang telah aku kerahkan sepenuhnya itu membuahkan hasil yang memuaskan. Hari ini juga aku akan berkemas untuk pulang. Segala sesuatunya telah aku persiapkan dari tadi malam. Oleh-oleh berupa sehelai baju telah aku belikan untuk beliau kemarin sore, walaupun hanya dengan harga yang murah.
Langkah kaki ku terasa sangat ringan saat mulai beranjak menuju terminal, meski jaraknya sekitar satu kilometer dari kost ku. Prinsip hidupku, jika tak pernah merasakan sakit, maka tak akan pernah merasakan nikmat yang sesungguhnya. Kalimat sederhana yang kujadikan pegangan hidupku inilah yang selalu memberi suntikan semangat kepadaku.
Setiba di terminal, ku segerakan mencari taksi yang mengantarkan penumpang searah dengan arah tujuan kepulanganku. Betapa inginnya segera kulabuhkan rindu yang seperti ingin merangsak dari dalam otakku ini. Akhirnya aku mendapatkan taksi yang akan mengantarkanku pulang kepadamu Ibu. Aku pun menyandarkan bahuku di kursi di barisan no dua dari belakang mobil Colt berwarna jingga ini. Perjalanan ini terasa sangat berbeda bagiku. Perjalanan pulang ke kampung halaman yang telah lama tak ku pijak. Perlahan mobil Colt ini pun melaju tanpa menghiraukan matahari yang semakin menyebarkan hangatnya menjadi panas.
Ku pandangi keluar jendela. Ku lihat awan yang berarak membentuk corak dan bentuk yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mobil yang melaju ini pun akhirnya membawaku keluar dari nuansa kota yang begitu mencekik orang-orang sepertiku ini. Hanya tuk menggapai segenggam cita-cita suci mu saja aku relakan pergi jauh darimu Ibu. Terlihat olehku gunung-gunung yang berjejer tak teratur melukis bumi ini. Lukisan sempurna dari sang khalik yang seharusnya di jaga oleh manusia. Rasa kantuk yang teramat sangat menyerangku. Tanpa sadar aku pun terkulai dalam balutan angin yang berhembus dari sela-sela jendela mobil yang kutumpangi ini. Akhirnya ku coba memejamkan mataku tanpa menikmati perjalan yang masih jauh ini.
***
Tiiit…
Tiiiitttt………….
Terdengar klakson dari mobil yang ku tumpangi ini menjerit keras membangunkanku. Ternyata aku tlah tiba di tempat tujuanku yaitu kampung halamanku. Sesegera ku rapikan dan ku keluarkan barang-barang bawaan ku. Ternyata di tempatku ini mendung sedang menyelimuti desa ku yang begitu kurindukan ini. Deru nafasku berburu dengan perasaan kerinduan akan ibuku ini. Ku ayunkan langkahku dengan pacuan yang lebih cepat dari gaya jalanku yang biasanya. Waktu yang kulihat dari jam lusuhku menunjukkan pukul 11.55 pagi.
Jalan setapak yang mengarah ke rumahku kususuri dengan langkah yang cepat meski dengan tas ransel yang berat ku sandang di pundakku. Aku tersenyum melihat keadaan rumahku yang asri seperti biasanya. Penuh kedamaian dan keteduhan di kelilingi oleh beberapa pohon mangga dan cempedak halamannya. Betapa bahagianya aku kini akan bertemu dengan sosok yang selalu memberiku semangat dalam kehidupan yang fana ini sehingga aku tetap tegar berdiri menatap duniaku.
Ku ucapkan salam tepat di depan pintu rumahku beberapa kali. Namun ibuku tak terdengar ada yang menjawab. Yang terdengar hanyalah hembusan angin siang yang begitu menyejukkan ragaku yang tlah lumayan penat di perjalanan tadi. Aku kemudian berjalan ke arah samping rumahku, namun kulihat semua pintu dan jendela gubukku ini terkunci rapat. Aku mulai merasakan kegelisahan. Kerinduan ku ini terpaksa ku tunda tuk sementara waktu dulu.
Aku kembali kedepan dan menyandarkan tubuhku di tas ransel yang ku bawa itu. Jembatan batu di depan rumahku yang dibawahnya mengalir pancuran air kecil bergemericik mendesah mendesau. Ku lihat ada paman Ardhi tetangga ku melintasi jembatan itu dan melangkah menghampiriku.
“Assalamu’alaikum paman” salamku.
“Wa’alaikum salam Rud, bagaimana kabarmu nak lam tak pulang kamu nih?” tanya beliau.
“Alhamdulillah sehat wal afiat paman. Paman, kalo aku boleh tanya paman tahu gak, Ibuku kemana?” tanyaku lagi.
Kulihat paman Ardhi yang berumur sekitar setengah abad itu mengernyitkan alisnya seperti sedang berfikir, atau mungkin sedang menyembunyikan sesuatu. Beliau terdiam sejenak sekitar beberapa menit sambil menghela nafas panjang seperti ingin mengemukakan sesuatu kepadaku. Aku pun hanya hening menanti jawaban dari paman Ardhi yang sudah ku anggap seperti pamanku sendiri, walaupun beliau hanyalah tetanggaku.
“Rudi, lebih baik kamu ikuti paman saja. Ada yang ingin paman tunujukkan kepadamu”, ucap Paman Ardhi dengan nada agak sedikit bergetar memecah keheningan ini.
“Kemana paman?? aku masih lelah nih. Makanya dari tadi aku hanya duduk saja di sini menanti ibuku paman” tanya ku lagi dengan nada penasaran.
“Kamu ikut paman aja dulu, ini adalah hal yang penting” jawabnya lagi yang semakin membuatku tambah penasaran.
Akhirnya akupun mengangguk saja mengikuti beliau yang sudah mulai melangkahkan kakinya. Di sepanjang jalan setapak yang ku lalui ini kami hanya membisu. Berjuta tanya bergayut di pikirku, apalagi jalan yang kulalui ini adalah jalan yang biasanya mengarah ke tempat di mana selalu ku datangi setiap aku mau pulang ke kota.
Sesampainya di tempat tujuan itu, kulihat di samping pusara ayahku sebuah makam yang masih merah tanahnya bertuliskan nama yang tentunya sangat ku hafal dan selalu ku sebut di dalam do’a-doa’ku. Aku terduduk lesu. Ku lihat paman Ardhi seperti mengucapkan sesuatu kepadaku, namun aku tak mendengar apapun sedikitpun. Hatiku bergemuruh tak jelas.
Tangisku pecah mendayu-dayu di atas pusara orang kurindukan selama ini. Sempat aku berpikir, betapa teganya kakakku tak mengabariku tentang hal ini. Kuanggap dia telah lupa akan aku dan ibuku. Aku tak kuasa mengendalikan tubuhku yang meronta-ronta di samping pusara ibuku ini. Paman Ardhi mencoba memegangiku tapi aku tetap tak perduli. Orang yang telah lama tak kutemui, orang yang begitu tulus melumuriku dengan kasih sayangnya. Orang yang tulus berjuang dengan jiwa rentanya untuk ku. Akhirnya aku tak mampu melawan emosiku, akal sehatku hilang dan aku tak tahu apa-apa lagi dengan suasana di sekelilingku.
***
Sayup-sayup kudengar suara paman Ardhi memanggilku. Kucoba membuka mataku yang masih terasa sembab dengan perlahan. Ku lihat sekelilingku ternyata banyak orang yang mengelilingiku. Aku berusaha duduk, meski badanku rasanya teramat lemah.
“Rudi, kamu gak apa-apakan?” tanya paman Ardhi dengan pandangan yang dalam kepadaku.
Aku hanya mengangguk. Beliau kemudian menyodorkan segelas teh hangat kepadaku untuk ku seruput. Sedikit demi sedikit ku seruput teh hangat itu. Aku kemudian mencoba bertanya walaupun dengan terbata-bata.
“Paman, aku di mana?” tanyaku.
“Kita di rumah Lukman, rumah temanmu, tadi kamu pingsan dan mereka membantuku mengangkatmu kesini” jawab beliau sambil menunjuk ke arah orang-orang di sekelilingku.
“Paman, antarkan aku ke tempat Ibu” pintaku.
Aku melangkah terhuyung-huyung menuju peraduan terakhir kedua orang tuaku. Tetes-tetes mutiara kembali membasahi pipiku. Langkahku yang tertatih tak kuasa ku kendalikan. Tangisku yang tak kuasa ku tahan kembali menghiasi suasana di tengah hari ini. Ku usap-usap nisan Ibuku, ku pandangi tulisan tanggal kepulangan Ibuku kepangkuan-Nya. Ternyata baru dua hari yang lalu beliau pulang.
Aku hanya bisa berucap memanggil-manggil Ibuku. Aku tak tahu apa yang harus ku perbuat setelah ini. Sedikitpun aku tak ingin pergi ke tempat kakakku yang tlah lupa kepadaku. Aku hanya berharap semoga aku bisa tegar, bisa kembali berdiri menghadapi duniaku, walaupun tanpa ibuku yang selama ini menjadi pahlawan hidupku. Tangisanku masih mengalir, meski tanpa ini tak lagi menetes.
SELESAI
"Cerita ini diangkat dari kisah nyata yang diceritakan secara sederhana oleh sang penutur dan dikembangkan oleh penulis menjadi cerpen."
Post a Comment for "Cerita Pendek - Ibu"
Post a Comment